Jumat, 08 April 2016

Collection Foto Ayuswara prastiwi




Didi kempot




Didi Kempot
Nama lahir Didi Prasetyo
Nama lain Didi Kempod
Lahir 31 Desember 1966
Bendera Indonesia Surakarta, Indonesia
Pekerjaan penyanyi, Produser, Musisi
Tahun aktif 1974—sekarang
Hubungan Mamiek Prakoso
Orang tua Ranto Edi Gudel

Didi Prasetyo atau yang lebih dikenal Didi Kempot (lahir di Surakarta, 31 Desember 1966; umur 49 tahun) adalah seorang penyanyi campursari dari Jawa Tengah. Didi Kempot merupakan putra dari pelawak terkenal dari kota Solo, Ranto Edi Gudel (Almarhum) yang lebih dikenal dengan nama mbah Ranto. Dia bersaudara dengan Mamiek Podang, pelawak senior Srimulat.

Didi Kempot merupakan penyanyi campursari kebanggaan kota Solo, di samping Gesang (maestro keroncong) dan Tia AFI (juara Akademi Fantasi Indosiar 2). Saat ini Didi Kempot tinggal di daerah Sumber, Solo.

Didi Kempot adalah anak dari pelawak terkenal Ranto Gudel ato mbah Ranto. “Wah kamu anak Ranto Gudel ya ?”, mendengar pertanyaan itu Didi Kempot remaja yang sedang asyik mengamen tak jauh dari rumahnya, langsung ambil langkah seribu. Didi, di masa remajanya memang dikenal sebagai anak bandel, pemberani, dan nekat. Maka nekat pula ketika ia memutuskan untuk mengamen di sebuah rumah yang hanya berjarak delapan rumah dari tempat tinggalnya. “Saya mulai mengamen ketika masih kelas 3 SMP”, ungkap Didi. “Saya ngamennya sembunyi-sembunyi, takut ketahuan Bapak”, ungkap pria bernama asli Didi Prasetyo ini. “Awalnya mengamen juga hanya sekedar tes mental”, imbuh Didi sambil terkekeh.

Gitar pertama yang Didi miliki merupakan buah kebandelannya. “Ketika kelas 2 SMA, sepeda pemberian Bapak saya jual untuk membeli gitar”, ungkap Didi. Berbekal gitar seharga 4000 rupiah itulah Didi mengembara sebagai pengamen, dan Jakarta menjadi tujuannya. Bagi Didi, seperti juga yang ada dalam benak banyak orang, nampaknya Jakarta masih menjadi primadona untuk mewujudkan mimpi.

Didi Kempot, sebagai anak seorang Ranto Gudel, anggota Group Lawak Srimulat yang saat itu sedang jaya-jayanya, sebenarnya kehidupannya cukup berada. Tetapi keinginan yang besar untuk mandiri, mengalahkan nasehat ayahnya, yang menginkan Didi sukses di sekolah. Berbekal nasehat ayahnya yang berbunyi,”Masa depanmu tergantung kamu sendiri”, berangkatlah Didi ke Jakarta.


Ketika pertamakali Didi menginjakan kaki tanah Jakarta, Mamik Srimulat, yang juga kakak Kandung Didi sudah cukup dikenal sebagai pelawak yang sukses. Namun hal itu tidak membuat Didi mau berenak-enak tinggal bersama kakaknya. Malah ia memilih tinggal bersama kawan-kawannya, dengan mengontrak sebuah rumah yang mepet dengan kandang kambing. “Saya ingin seperti Mas Mamik, yang memulai karir dari nol”, ungkap Didi.

Wah, mandiri sekali ya...

Bakat seni memang mengalir deras di darahnya. Didi pun mulai mahir mencipta lagu. “Lagu-lagu yang saya ciptakan tadinya hanya saya nyanyikan sendiri saat mengamen”, ungkap Didi. Karena lagu-lagu ciptaan Didi sangat indah untuk dinyanyikan, lama kelamaan banyak pengamen jalanan yang sering membawakan lagu-lagu ciptaannya. Dari situ mulai Didi dikenal di banyak orang. Sampai suatu ketika kelompok Lenong Bocah mengajak untuk rekaman di TVRI. “Meski honornya tidak seberapa tetapi bangganya itu lho … luar biasa”, jelas Didi.

“Suatu saat Mas Mamik mengabarkan, saya akan dipertemukan dengan Mas Pompi, musikus yang mantan anggota No Koes. Sebelum berangkat, saya mandi di rumah Mas Mamik dan ganti pakaian. Wah, saya geli sendiri. Meski dipantas-pantaskan dengan baju bagus Mas Mamik, tetap saja saya bertampang pengamen”, ungkap Didi sambil kembali terkekeh. “Kami bertemu Mas Pompi di studionya di kawasan Depok Lama. Saya pun dites dengan menyanyikan lagu-lagu karangan saya sendiri. Ternyata lulus”, imbuhnya. Akhirnya Didi pun diajak rekaman dengan lagu andalan We Cen Yu. “Itu bukan lagu Mandarin, tapi singkatan Kowe Pancen Ayu (kamu memang cantik )”, ungkap pencipta lagu Sewu Kuto ini. Dan We Cen Yu akhirnya mampu secara perlahan merubah kehidupan Didi.

Ketika menerima bayaran, Didi kaget luar biasa. Saat itu ia total menerima Rp 1,2 juta. “Wah, saya bingung melihat uang sebanyak itu. Maklum biasanya cuma dapat recehan”, ungkap Didi. Uang itu oleh Didi dibawa pulang ke Solo, lalu dibelikan nisan untuk almarhumah neneknya. “Beliaulah yang membesarkan saya sampai remaja”, jelas Didi.

Berarti ayahnya mas Didi udah nggak ada ketika mas Didi sukses,. jadi terharu

Ditengah kesibukan luar biasa, Didi menyempatkan hadir pada “Sarasehan Keroncong 2008”, yang diselenggarakan oleh Tjroeng dan Sundari Soekotjo di Kota Solo awal Agustus 2008 yang lalu. Pada kesempatan itu Didi memberikan komentar tentang ketidak setujuannya bahwa keroncong saat ini tidak berkembang. “Saat ini keroncong masih mengalami perkembangan walaupun perkembangannya kurang menggema”, jelas Didi. Maka perlu dilakukan berbagai upaya supaya keroncong semakin hidup dan terus berkembang, tidak tergerus oleh perjalanan waktu. “Perlu diadakan lomba cipta lagu keroncong yang bekerja sama dengan recording studio”, usul Didi. “Menciptakan lagu-lagu keroncong baru, dengan bit yang berbeda namun dengan nuansa keroncong yang kuat”, imbuh Didi. Sebagai bentuk kepeduliannya terhadap keroncong, Didi juga sedang berupaya untuk memperkenalkan Rencong Solo (Regae Keroncong Solo). Sebuah upaya yang patut diapresiasi mengingat perkembangan keroncong masih terbatas pada pakem, dan masih sedikit musisi yang berani untuk melakukan perubahan

Dimas Tedjo Blangkon






 Siapa yang tak mengenal seniman muda berbakat yang satu ini? Ya, Dimas Tedjo namanya. Sangat jarang seorang seniman memiliki paras rupawan sepertinya dengan karakter khas yang selalu ia pamerkan dimanapun ia berada, yaitu blangkon yang selalu terpasang di kepalanya. Dari situlah julukan Dimas "blangkon" pertama kali muncul.




Profil Dimas Tedjo

Nama lengkap: Dhimas Ratin Sutedjo
TTL:  Jogjakarta, 5 Oktober 1980
Ayah:  Ahmad Sonaji
Ibu: Ponikem
Zodiak:  Libra
Lagu terpopuler:  Stasiun Tugu

Bagi sebagian besar warga Yogyakarta tentu sudah tidak asing dengan sosok Dimas Tedjo. Wajar saja karena ia juga aktif terlibat di acara Klinong Klinong Campursari, sebuah program yang diproduksi stasiun televisi lokal Jogja TV. Walau wajahnya sudah sangat familiar di kawasan Jawa Tengah ternyata masih saja membuat sosok pria ganteng yang satu ini merasa kurang dalam memperluas popularitasnya. Hingga akhirnya pada 2009 silam ia mengikuti ajang pencarian bakat musik Dangdut di TPI (sekarang MNCTV) yang berlabel Dangdut Mania. Dari situ muncul pertanyaan, sebenarnya genre apa yang tengah ia tekuni sebagai profesi. Dengan lantang ia jawab bahwa latar belakang dari keluarga seniman adalah alasan dasarnya sehingga kenal dengan berbagai aliran sejak masih kecil, dan masalah genre asalkan ia menguasai maka apapun akan ia jalani.

Dengan pernyataan tersebut jelas sangat terbukti dengan munculnya album-album yang ia rilis mulai dari Langgam, Campursari, Pop Dangdut, Dangdut Koplo, dan berbagai jenis musik lainnya. Pencapaian luar biasa selanjutnya adalah pengakuannya bahwa sosok yang paling berjasa mengenalkannya pada musik asli Indonesia tersebut adalah mendiang RM Manthous yang tak lain adalah pencipta musik Campursari yang juga asli dari Gunung Kidul.

Penyanyi yang baru saja lulus sarjana hukum pada 2012 lalu ini lahir dari pasangan Ahmad Sonaji dan Ponikem pada 5 Oktober 1980 silam. Namun kembali dikonfirmasi mengenai eksistensinya ia mengaku akan tetap memilih tour keliling dari kampung ke kampung saja dan tak berniat untuk menetap mengadu nasib keartisannya di ibukota.

Sejauh ini 8 album solo telah ia keluarkan, dan raihan tersebut masih akan terus terlampaui seiring berjalannya waktu. Kita tunggu saja, apakah nantinya Campursari akan semakin go international seperti visi dan misi yang telah ia target sebagai generasi muda sekaligus pemelihara kekayaan budaya yang dimiliki bangsa ini.

 Manthous




D Manthous, nama asli Sumanto Sugiantono (Anto; ꦱꦸꦩ​ꦤ꧀ꦠ​ꦱꦸꦒꦶꦲ​ꦤ꧀ꦠ​ꦤ​), adalah tokoh dan penemu musik campursari, ia dilahirkan di Desa Playen, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 10 April 1950 dan meninggal di Jakarta pada tanggal 9 Maret 2012 (usia 62 tahun). Pengalaman di Jakarta bersama B. J. Soepardi, Benyamin Sueb, Idris Sardi, Bing Slamet, Grup Kwartet Jaya, dan lain-lain. Ia kemudian mendirikan Grup Campursari Maju Lancar di Gunung Kidul.

Latar Belakang Sunting

Manthous lahir di Desa Playen, Gunung Kidul, pada tahun 1950. Pada tahun 1966, ketika berusia 16 tahun, Manthous memberanikan diri pergi ke Jakarta. Tentu saja dengan latar belakang pendidikan SMP, pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya.

Pengalaman Musik Sunting

Pada tahun 1969 dia bergabung dengan Orkes Keroncong Bintang Jakarta pimpinan B. J. Soepardi sebagai pemain cello petik. Namun kemudian, pada tahun tahun 1976, Manthous yang juga piawai bermain bass mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama dengan Bieb anak Benyamin Sueb. Bieb Blues bertahan hingga tahun 1980. Ia adalah juru rekam Musica Studio. Kemudian, Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin Sueb. Selain itu, sebelumnya ia pernah juga menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya. Tahun 1990 ia berkenalan dengan A. Riyanto yang memiliki studio di Cepete, dan sering membuat rekaman di studio ini.

Mendirikan Campursari Sunting

Kelihatannya semua pengalaman inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Dalam khazanah dangdut, bahkan, dia juga menjadi panutan karena mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang kemudian ditiru oleh para pemain bas dangdut sekarang.

Pada tahun 1993, Manthous mendirikan Grup Musik Campursari Maju Lancar Gunung Kidul. Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada warna rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atau Bowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keyboard dan gitar bas. Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu.

Kamis, 07 April 2016

Revan'sa Music Entertainment atau Revansa Campursari , adalah sebuah grup Campursari yang di pimbin oleh bapak Agus dari Desa Slogoretno ,Jatipurno Wongiri ,JaTeng
Yang digawangi oleh beberapa penggerawit :

Selasa, 05 April 2016

SEJARAH MUSIK CAMPURSARI



Sejarah Musik Campur Sari
MusikAuthor admin - November 24, 2014

 
Sejarah musik campur sari kira-kira telah dimulai 40 tahun yang lalu, dan sempat menghilang. Pada tahun 1990, musik yang secara estetika tidak memiliki kelebihan apapun selain enak di telinga ini kembali menjamur lagi. Tempat yang paling mudah untuk kita menemui musik-musik campur sari adalah di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta, dan kota-kota yang ada di sekitaran Jawa Timur, tinggal tentukan daerah mana yang terdekat. Ketika kita tiba di daerah-daerah tersebut, tak perlu waktu lama hingga kita bisa menemukan tempat yang sedang memutar lagu-lagu campur sari, karena musik campur sari sendiri sudah bagaikan mendarah-daging dan ada dimana-mana mulai dari rumah makan hingga radio swasta.

Sejarah Musik Campur Sari

Sejarah Campur Sari
Sejarah musik campur sari bermula dengan Manthous yang pada tahun 1980-an mencoba untuk menyelipkan keyboard menjadi bagian dari orkestrasi gamelan lewat kelompok musiknya yang pada waktu itu diberi nama “Maju Lancar”. Menilai bahwa eksperimennya dengan memasukkan keyboard menjadi unsur kunci, mulai banyak eksperimen-eksperiman untuk memasukkan unsur-unsur baru dalam gabungan dua hal tadi seperti misalnya keroncong, dan bahkan dangdut sendiri. Nama campur sari sendiri, sesuai namanya bermakna campuran dari berbagai macam jenis musik yang dikenal di Indonesia. Musik ini sendiri mayoritas dipenuhi dengan modifikasi alat-alat musik gamelan sehingga mereka bisa dengan lebih mudah berasimilasi dengan alat-alat musik barat dan sebaliknya. Meski begitu, fakta di lapangan adalah bahwa alat musik yang berasal dari barat ini malah mengikuti gaya musik yang disukai oleh masyarakat-masyarakat lokal, dibandingkan masyarakat lokal yang mengikuti gaya asli alat-alat musik tersebut.

Mus Mulyadi, seorang penyanyi keroncong yang lahir di Jawa Timur 69 tahun yang lalu dan terkenal dengan julukan Buaya Keroncong ini pernah berkata bahwa musik campur sari merupakan salah satu jenis musik yang amat dilirik oleh produser rekaman. Hal ini masuk akal, terutama dengan besarnya pasar yang tertarik akan jenis musik yang unik ini, baik di dalam maupun di luar negeri. Cak Mus sendiri amat tertarik untuk ikut terjun ke dunia campur sari yang menurutnya tidak jauh berbeda dengan genre musik lain, hanya saja pada campur sari, ia harus terlebih dahulu menguasai cengkok khas dan pakem-pakem yang ada. Tidak hanya cak Mus, ada juga penyanyi yang sempat menyelam ke dunia musik unik ini yaitu Evie Tamala dan Nur Afni Oktavia. Diakui pula bahwa campur sari juga menaikkan daya jual para pesinden yang tadinya hanya menjadi pengiring di pentas wayang, mulai terkenal ketika mereka menyusuri jalan campur sari.

Sejarah musik campur sari juga dinilai sebagai awal terjadinya dekonstruksi pada jenis-jenis musik yang lain. Hal ini disebabkan karena dari beberapa daerah, banyak bermunculan kelompok-kelompok baru, ditambah dengan para pengamen yang senang mendendangkan tembang campur sari. Dekonstruksi jenis musik terjadi ketika banyak terdengar lagu “Kemesraan” yang digubah oleh Iwan Fals atau bahkan lagu-lagu sekelas “Don’t Cry for Me, Argentina” milik Madonna seketika berubah memiliki hawa Jawa yang kental. Hal ini bertimpang dengan kondisi lagu-lagu Jawa klasik yang ketika dimainkan oleh grup-grup campur sari ini menjadi lebih modern, tak heran jika ada beberapa lagu Jawa klasik yang mendadak diiringi oleh dentingan keyboard maupun distorsi dari alat-alat musik modern seperti gitar listrik.

Awal mula musik campur sari dimulai adalah ketika Anto Soegiyono yang lebih dikenal dengan nama Manthous pergi ke Jakarta pada saat ia berumur 16 tahun. Saat itu, pilihan hidup yang ada baginya adalah mencari kepingan receh dari hasil menyanyi dari bis ke bis, atau yang biasa disebut ngamen. Pada tahun 1969, dia memutuskan untuk berhenti mengamen dan memilih untuk bergabung dalam orkes keroncong besutan Budiman BJ yang bernama Bintang Jakarta. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya pada 1976, Manthous mulai membuat grup band funky rock miliknya sendiri bersama Bieb, anak dari Benyamin S, yang diberi nama Bieb Blues dimana band ini bisa bertahan hingga tahun 1980. Selain pengalaman-pengalaman tadi, Manthous juga pernah ikut ke dalam grup milik Benyamin S yang bernama Gambang Kromong dan menjadi pengiring di grup Kwartet Jaya.

Sejarah musik campur sari sendiri baru dimulai pada tahun 1993 ketika Manthous membuat gebrakan dengan menciptakan sebuah grup musik bernama Maju Lancar Gunung Kidul. Grup musik ini adalah tempat dimana ia pertama kali menunjukkan pada masyarakat Indonesia gaya khas musiknya yang ia sebut campur sari. Tak jarang dalam musik yang dibawakan, terasa sedikit nuansa rock, reggae, atau bahkan suara gamelan yang turut diiringi keyboard maupun bas. Lewat grup ini juga Manthous berhasil membuat beberapa volume rekaman di Surabaya. Saat dirilis, kaset yang memperkenalkan jenis musik yang amat sangat baru ini menjadi teramat terkenal dan penjualannya mampu menyentuh angka lebih dari 50.000 kaset per volumenya.

Meskipun Manthous memang yang membuat campur sari, konsep seperti ini sebenarnya sudah ada sejak lama, karena menurut seorang pengamat karawitan yang bernama I Wayan Sadra, cikal bakal sejarah musik campur sari telah dimulai oleh seorang dalang yang bernama Ki Nartosabdo dimana beliau memasukkan unsur-unsur keroncong pada orkestranya yang terdiri dari alat-alat musik gamelan. Ada juga kelompok musik yang cukup terkenal bernama Karno Kadean yang menggunakan instrumen gamelan tapi tidak untuk mengiringin gending-gending Jawa. Sadra juga menambahkan bahwa memang ide campur sari pada masa itu sudah lekat di benak masyarakat, dan hal itu juga yang membuat campur sari mudah diterima oleh telinga.